Saturday, March 9, 2013

Selamatkan Diri dan Keluarga dari Penyakit Materialisme (2)

Selamatkan Diri dan Keluarga dari Penyakit Materialisme

 
Sabtu, 09 Juni 2012
Oleh: Abdullah al-Mustofa

SEBUAH
penelitian di Amerika Serikat yang dilakukan tiga orang ahli dari tiga universitas yang berbeda di Amerika Serikita yang hasil penelitian mereka dipublikasikan oleh Association for Consumer Research, sebuah lembaga penelitian konsumen di University of Minnesota Duluth, Amerika Serikat, meneliti pengaruh frekuensi menonton program televisi pada pengadopsian nilai-nilai materialistis. Penelitian tersebut membuktikan semakin banyak jam yang dihabiskan seseorang dalam menonton televisi maka yang bersangkutkan semakin materialistis. Hubungan antara menonton televisi dengan materialisme lebih besar bagi mereka yang lebih fokus memperhatikan ketika menonton televisi, dan bagi mereka yang lebih mengembangkan apa yang ditonton dengan berfantasi.
Untuk mengurangi tingkat materialisme pada seseorang, para peneliti tersebut menyarankan untuk mengurangi jumlah waktu yang dihabiskan di depan televisi. Namun, tren menonton televisi di mana-mana menunjukkan hanya sedikit yang mau atau mampu melakukan hal ini. Sebagai obat alternatif, kata mereka, seseorang dapat memerangi materialisme dengan menyadari apa yang mereka menonton dan efeknya, dan menahan dorongan untuk berfantasi tentang gaya hidup makmur yang digambarkan di televisi.
Dengan kata lain, mengingatkan diri kita bahwa dunia pertelevisian terdistorsi. Lanjut mereka, tentu saja, ini mungkin bukan cara yang menyenangkan untuk menonton televisi karena pemirsa cenderung memaksimalkan kenikmatan dengan berfantasi.
Cara untuk mengurangi tingkat materialisme dan memerangi materialisme tersebut di atas ternyata kurang efektif, bahkan sulit untuk dilakukan. Namun lain halnya dengan Islam.

http://hidayatullah.com/read/23062/09/06/2012/selamatkan-diri-dan-keluarga-dari-penyakit-materialisme.html




Selamatkan Diri dan Keluarga dari Penyakit Materialisme

Selamatkan Diri dan Keluarga dari Penyakit Materialisme

 
Sebuah potret kelurga Muslim/iliustrasi
Kamis, 07 Juni 2012
Oleh: Abdullah al-Mustofa
SEORANG ibu yang tinggal di sebuah kota kecil menceritakan, anak gadisnya yang bersekolah di sebuah sekolah Islam merasa minder ketika berkumpul dengan teman-temannya karena kebanyakan dari mereka memiliki Blackberry (BB). Orangtuanya merasa kasihan padanya hingga membelikannya ketika ada rejeki agar putrinya tidak merasa minder lagi meskipun masih banyak kebutuhan mendesak lainnya yang musti dipenuhi termasuk membayar hutang-hutang.
Ada seorang remaja putri yang juga tinggal di kota kecil merasa ketinggalan jaman karena tidak mempunyai laptop. Akhirnya orangtuanya memaksakan diri membeli laptop dengan cara mencicil, meskipun masih ada kebutuhan primer yang harus lebih diutamakan. Ada seorang remaja laki-laki desa yang ingin dibelikan sepeda motor oleh orangtuanya mengalami stres hingga mengalami sakit jiwa karena orangtuanya tidak mengabulkan permintaannya.
Ada remaja perempuan desa yang mengancam orangtuanya akan pergi meninggalkan rumahnya jika orangtuanya tidak membelikan handphone. Ada seorang Muslimah tinggal di pedesaan yang tidak peduli agama yang dianut seorang laki-laki yang dipilihnya menjadi suaminya tidak sama dengan agama yang dianutnya, yang penting baginya ada jaminan kesejahteraan dalam hidupnya karena laki-laki tersebut seorang Pegawai Negeri Sipil.
Fenomena seperti di atas adalah hal yang sering kita temui dan dianggap wajar terjadi serta mudah ditemui di jaman ini. Tidak pandang bulu di kota besar atau kota kecil, di tengah kota, pinggir kota atau di pedesaan.
Dalam kisah-kisah di atas, ada satu hal yang sama yang diinginkan para tokohnya, yaitu harta benda atau materi. Materi adalah kebutuhan manusia sejak manusia pertama yakni Adam as hingga manusia terakhir yang lahir di muka bumi ini. Wajar, tidak salah dan tidak berdosa manusia memenuhi kebutuhan materinya baik yang tergolong kebutuhan primer, sekunder maupun tersier yang halal, didapatkan dengan cara yang halal dan dari harta yang halal, serta dalam batas kewajaran.
Akan menjadi salah jika materi digunakan: sebagai sumber kebahagiaan, percaya diri, kepuasan batin dan kemuliaan diri; untuk menghormati orang lain dan mengharapkan orang lain menghormati dirinya;  untuk menilai status sosial dan kesuksesan diri sendiri dan orang lain; dan sebagai faktor pendorong melakukan aktivitas sosial dan keagamaan.
Juga termasuk kategori perbuatan yang tidak tepat jika untuk mendapatkan materi dalam rangka memenuhi kebutuhan materi harus mengorbankan anggota keluarga, apalagi agamanya.
Mengorbankan anggota keluarganya baik itu anak, suami/istri, atau lainnya yang menjadi tanggung jawabnya dengan meninggalkan mereka dalam waktu yang sangat lama atau selama-lamanya; menitipkan anak di tempat penitipan anak; menitipkan orangtua di panti jompo; tidak mempedulikan kesehatan mental, kebutuhan jiwa dan kehidupan spiritual mereka; atau menjadikan mereka sebagai korban atau tumbal untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan  “orang pintar”. Mengorbankan agamanya dalam arti tidak atau kurang mempedulikan kebutuhan rohaninya; meninggalkan kewajibannya sebagai hamba Allah; mengabaikan ajaran agamanya seperti dengan melakukan korupsi, menyuap dan melakukan perbuatan syirik; serta dalam arti meninggalkan agamanya yakni keluar dari Islam (murtad).
Mengejar materi untuk memenuhi kebutuhan materi dengan mengorbankan agamanya adalah tanda bahwa seseorang lebih mencintai materi dari pada Allah dan Rasul-Nya.Maka, logis jika dia enggan berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartanya.

قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”  [QS: At Taubah: 24]
Perlakuan-perlakuan menyimpang terhadap materi seperti tersebut di atas telah berlaku sepanjang sejarah manusia. Di jaman nabi Musa as ada Karun yang kufur nikmat, sombong, membanggakan hartanya, mengklaim harta yang didapatkannya bukanlah dari Allah tapi karena ilmu dan hasil keringatnya, serta enggan berzakat, berinfak dan bersedekah. Sebagai balasannya, Karun diazab Allah dengan cara ditelan hidup-hidup oleh bumi beserta harta bendanya.

إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِن قَوْمِ مُوسَى فَبَغَى عَلَيْهِمْ وَآتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوزِ مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ لَا تَفْرَحْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِينَ         (QS. al-Qashash [28]:76)
Artinya: “Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. Ketika kaumnya berkata kepadanya: "Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri".

قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِندِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِن قَبْلِهِ مِنَ القُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعاً وَلَا يُسْأَلُ عَن ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ    (QS. al-Qashash [28]:78)
Artinya: “Karun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku". Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.”
Di jaman ini perilaku-perilaku menyimpang terhadap materi lebih masif, intensif dan lebih kental dilakukan umat manusia termasuk yang beragama Islam. Salah satu penyebabnya adalah menyebarnya ideologi materialisme. Materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra. Sedangkan orang yang menganut dan menjalankan paham materialisme dan orang yang mementingkan kebendaan seperti harta, uang, dan lain sebagainya disebut dengan materialis. (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Di jaman modern ini budaya dan nilai-nilai materialistis telah menyebar luas ke setiap sudut  dunia dan tak kenal usia menjangkiti anak-anak hingga orang lanjut usia, dan tak pandang agama apapun agama seseorang, tak terkecuali yang beragama Islam.
Pendidikan, media massa, dan alat teknologi informasi dan komunikasi adalah sarana yang efektif digunakan untuk menyebarluaskan ideologi materialisme oleh pengasongnya. 
Media massa seperti koran, majalah, radio dan televisi juga tidak ketinggalan mencetak manusia-manusia yang materialis dengan cara mempromosikan nilai-nilai materialisme.
Di antara semua media massa, televisi merupakan media yang paling efektif mempengaruhi dan merubah nilai hidup, cara pandang, cara berpikir, pola hidup dan gaya hidup. Melalui iklan, film, sinetron, talk show dan program-program lainnya termasuk berita, televisi secara halus mempromosikan cara berpikir, pola hidup dan gaya hidup materialistis.
Menariknya, di Indonesia, lebih mudah menemukan rumah tangga yang mempunyai televisi lebih dari satu buah. Bahkan televisi sudah jamak menjadi milik pribadi dan bersifat mobile yang dapat di nikmati di mana saja dan kapan saja. Juga saat ini sulit mendapati orang termasuk yang beragama Islam yang tidak pernah atau jarang menonton televisi, tapi malah lebih mudah mendapati anak-anak hingga orang yang sudah lanjut usia menghabiskan banyak waktu di depan televisi.
Demikian demikian, tidaklah mengherankan jika penyakit materialisme telah merebak di mana-mana.*/ bersambung ke Tulisan Kedua

http://hidayatullah.com/read/23023/07/06/2012/selamatkan-diri-dan-keluarga-dari-penyakit-materialisme-----.html

Thursday, March 15, 2012

Menghadapi Syiah Lebih Susah dari Penganut Liberal

Hidayatullah.com—Belum lama ini, sebuah acara diskusi ilmiah tentang Syiah diikuti mahasiwa dan mahasiswi Indonesia di International Islamic University Malaysia (IIUM), Kualalumpur.

Dalam diskusi ilmiah bertema ”Memahami Kelainan Sy’iah” yang diselenggarakan oleh IKPM (Ikatan Keluarga Pondok Modern) Gontor Cabang Malaysia dan ISFI (Islamic Studies Forum for Indonesia) menghadirkan Henri Shalahuddin, MA, peneliti INSISTS (Institute for Teh Study of Islamic Thought and Civilizations).

Dalam makalahnya, Henri memaparkan beberapa bukti standar ganda yang dilakukan kaum Syiah.

Di antara yang dipaparkan Henri adalah sebuah buku yang ditulis Emilia Renita, seorang pendakwah Syi’ah berjudul “40 Masalah Syi’ah”.

Renita, dalam buku itu menyatakan, bahwa tujuan dia menulis bukunya bukan untuk menghujat, menyerang dan mengkafirkan Ahlussunnah. Pernyataannya ini diperkuat oleh suaminya, Jalaluddin Rahmat. Dalam pengantarnya, ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI) ini yang bertindak sebagai editor buku tersebut mengaku bahwa salah satu tujuan ditulisnya buku istrinya itu adalah untuk menumbuhkan saling pengertian di antara mazhab-mazhab dalam Islam.

Untuk menguatkan pendapatnya, Emilia bahkan memaparkan bahwa penafsiran para ulama Syi’ah yang menulis kitab-kitab tafsir “Tafsir al-Shafi”, “Majma’ al-Bayan”, “al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an” dan “al-Bayan fi Tafsir” tehadap surat Al-Hijr ayat 9 yang artinya; “Sesungguhnya Kami menurunkan peringatan (al-Qur'an) dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya" yang dinilai menguatkan jaminan Allah dalam menjaga al-Qur'an

Hanya saja masalahnya, menurut Henri, di satu sisi mereka menyatakan demikian, namun di sisi lain banyak buku-buku Syiah secara aktif dan provokatif menyebarkan paham kebencian kepada sahabat Nabi Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم).

Soal Tahrif

Beragam penyesatan terhadap ajaran Ahlussunnah, termasuk menuduh para ulama Sunni membenarkan adanya tahrif dalam al-Qur'an dengan menjungkirbalikkan makna beberapa Hadits yang diyakini kesahihannya oleh kaum Sunni, demikian ungkap Henri.

Dalamnya bukunya, Emilia juga membantah adanya tahrif (penambahan dan pengurangan) al-Qur’an dalam aqidah Syi’ah dan menyatakan bahwa pendapat tahrif di kalangan ulama Syiah adalah lemah. Namun pernyataan ini ditampik Henri.

Padahal menurut Henri, “Sejak dulu sampai sekarang para ulama Syi’ah menolak adanya tahrif dalam al-Qur'an.“

Namun Henri membuktikan bantahan dan pemaran Emilia ini sangat berbeda dengan kenyataan.

Dua kitab tafsir “Tafsir al-Shafi” karya al-Faidh al-Kasyani dan “Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an” karya Abu ‘Ali al-Thabarsi ternyata di dalamnya terdapat penambahan lafadz asing dalam ayat Kursi.

Henri menemukan, setelah lafadz: "Lahu ma fi l-samawati wa ma fi l-ardh", ada penambahan lafadz: "Wa ma baynahuma wa ma tahta l-tsara ‘alim al-ghayb wa l-syahadah al-rahman al-rahim."

Standar ganda bukan hanya dilakukan Emilia yang sekadar pendakwah, namun juga dilakukan ulama besar Syi’ah kebanggaan tokoh-tokoh Syi’ah sedunia yang bernama Abul Qasim al-Khuiy (1317H/1899M-1984M) yang menulis kitab tafsir “al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an.

Di dalam satu kitab yang sama tersebut beliau melakukan dua hal yang bertolak belakang. Di satu tempat beliau dia menolak tahrif dalam al-Qur'an dengan menjelaskan dalam satu fasal khusus tentang keterjagaan al-Qur'an dari tahrif (shiyanatul Qur’an min al-tahrif) dengan menulis di bagian akhir: “Seperti yang telah kami sebutkan (sebelumnya), sungguh menjadi jelaslah bagi para pembaca bahwa Hadits-Hadits yang berbicara tentang tahrif dalam al-Qur'an adalah Hadits khurafat dan khayalan belaka yang hanya diucapkan oleh orang yang lemah akalnya…” .

Namun di bagian lain beliau meyakini adanya tahrif dengan menulis; “Sesungguhnya banyaknya periwayatan yang menyebutkan adanya tahrif dalam al-Qur'an diwarisi secara meyakinkan, yang sebagiannya muncul dari orang-orang yang maksum (imam-imam Syiah, pen)… dan sebagiannya diriwayatkan dengan jalan yang terpercaya”. (al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, hal. 226).

Henri menyimpulkan, standar ganda ini adalah bagian dari taqiyyah kaum Syi’ah.

“Karena adanya taqiyyah, menghadapi kaum Syi’ah lebih susah dari pada menghadapi Islam Liberal”, ujarnya.*/Abdullah al Mustofa, Lumpur, Malaysia

http://hidayatullah.com/read/21682/14/03/2012/menghadapi-syiah-lebih-susah-dari-penganut-liberal.html

Thursday, February 23, 2012

Agar Selamat Dari Murka Allah dan Aliran Sesat

Allah swt berfirman yang artinya:

“Tunjukilah Kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah [1]:6)

Pendahuluan

Sudahkah doa memohon petunjuk di atas —yang mana telah sering dan banyak anda ucapkan— berpengaruh pada diri dan kehidupan anda? Apa pengaruhnya terhadap diri dan kehidupan anda? Bagaimanakah kualitas pengaruhnya? Apakah do’a tersebut telah efektif membentengi diri anda dari serangan virus-virus aliran, paham dan pemikiran sesat? Jika telah terinfeksi, apakah do’a tersebut efektif menghilangkan virus-virus tersebut? Jika jawaban dari semua pertanyaan tersebut adalah belum, tidak atau masih sedikit pengaruhnya, anda mesti mempertanyakan keimanan anda lalu menginstall ulang iman anda. Bagaimana caranya?

Sunday, January 29, 2012

“Jihad Sosial” atau Haji Yang Layak Sebagai Gaya Hidup?

Oleh: Abdullah al-Mustofa

SEBUAH sinetron berdasarkan kisah nyata dari Mesir beberapa hari yang lalu ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi swasta tanah air. Sinetron tersebut mengisahkan seorang ibu yang diajak putranya pergi ke Tanah Suci untuk melaksanakan ibadah umrah. Betapa bahagianya si anak karena ibunya dapat mengunjungi Tanah Suci. Tapi kebahagiannya itu berubah menjadi kesedihan tatkala ibunya berada di dalam kawasan Masjidil Haram tidak bisa melihat Ka’bah karena tidak bisa melihat apa-apa kecuali kegelapan.

Dia tidak putus asa. Dia tiada putus memohon kepada Allah swt agar Dia berkenan mengampuni dosa-dosa ibunya serta membuat ibunya bisa melihat Ka’bah. Namun Allah swt belum berkenan mengabulkan doa-doanya hingga saatnya harus kembali ke tanah air mereka. Dia pun tidak putus asa untuk mengajak ibunya untuk pergi ke Tanah Suci hingga lima kali umrah dan satu kali haji meskipun ternyata ibunya tetap mengalami hal yang sama, ibunya selalu mengalami kebutaan ketika berada di kawasan Masjidil Haram.

Di laman web onislam.com berbahasa Inggris ada seorang yang telah tiga kali melaksanakan haji dan berencana akan melaksanakan haji tahun ini mengajukan pertanyaan apa yang sebaiknya dia lakukan antara memenuhi keinginan diri sendiri dengan melaksanakan haji lagi dan memenuhi kebutuhan umat dengan jalan membantu meringankan beban umat Islam yang dirundung kemalangan.