Friday, September 9, 2011

Berapa Efektif Puasa Ramadhan Anda?

APAKAH selama Ramadhan ini ketika menikmati makanan di waktu sahur Anda ditemani program-program TV? Juga apakah selesai menyantap hidangan Anda masih menikmati hidangan yang disajikan TV hingga menjelang subuh? Jika ya, berarti puasa Ramadhan Anda tahun ini bisa dikatakan belum efektif. Bagaimana bisa? Apa hubungan menyaksikan TV di waktu sahur dengan efektifitas puasa Ramadhan?

Ramadhan adalah madrasah, sekolah atau training center gratis yang disediakan khusus oleh Allah swt. bagi orang-orang Mukmin untuk melatih sekaligus mencetak mereka menjadi pribadi yang lebih baik dibanding sebelum Ramadhan. Diharapkan setelah keluar dari bulan training center tersebut mereka memiliki sifat-sifat dan kebiasaan-kebiasaan baik – baik yang bersifat vertikal maupun horizontal - yang belum dimiilki sebelum Ramadhan. Diharapkan setelah menjalani latihan selama Ramadhan, sifat-sifat dan kebiasaan-kebiasaan baik yang telah mereka miliki meningkat intensitas, kualitas dan frekwensinya dibanding sebelum Ramadhan. Juga diharapkan setelah mengikuti pendidikan di sekolah Ramadhan mereka tidak lagi memiliki sifat-sifat dan kebiasaan-kebiasan buruk yang dimilikinya sebelum Ramadhan.

Ada begitu banyak latihan di bulan Ramadhan. Di antara perbuatan baik yang dilatihkan oleh Allah swt. Di dalam Ramadhan adalah qiro’atul qur’an, sedekah, i’tikaf, sholat sunnah rowatib, sholat sunnah tarawih, bangun malam untuk beribadah dan bangun malam untuk makan sahur. Sedangkan sifat dan kebiasaan buruk yang harus dilatih di dalam Ramadhan untuk ditinggalkan antara lain adalah berdusta, mencela, ghibah, menyiakan-nyiakan waktu terutama waktu-waktu yang istimewa seperti waktu sahur, dan memAndang lawan jenis baik yang tertutup maupun yang terbuka auratnya dengan diiringi syahwat dan untuk tujuan memuaskan nafsu syahwat.

Jika sebelum Ramadhan seseorang tidak pernah atau jarang bangun malam, bulan Ramadhan melatih dan sekaligus mencetaknya menjadi pribadi yang senang, ringan, mudah dan terbiasa bangun malam di luar Ramadhan. Mengapa demikian? Karena selama bulan Ramadhan setiap Muslim yang wajib berpuasa disunahkan makan sahur agar mempunyai tenaga yang diperlukan untuk beraktivitas di pagi hingga menjelang berbuka puasa. Untuk bisa melaksanakan sunah tersebut, mau atau ogah-ogahan, berat atau ringan, dalam keadaan mengantuk atau tidak, mereka harus bangun di malam hari.

Waktu makan sahur yang afdhol adalah di akhir malam yakni waktu sahur. Mengakhirkan makan sahur adalah sunah Rasulullah saw. Dengan demikian setelah menjalani training tersebut selama satu bulan di dalam bulan Ramadhan diharapkan setiap Muslim menjadi terbiasa, mudah, ringan dan senang qiyamullail di sepertiga malam terakhir di bulan-bulan selain Ramadhan.

Waktu sahur adalah waktu emas, waktu yang istimewa. Sebuah hadits Qudsi menjelaskan keistimewaannya.

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda: “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan, dan siapa yang yang memohon ampun kepadaKu, maka akan Aku ampuni”
Dalam hadits lain Rasulullah saw, menyatakan keistimewaannya. ”Makan sahurlah kamu sekalian, karena di dalamnya terdapat keberkahan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Makna yang terkandung dalam kata keberkahan dalam hadits tersebut bukan hanya sekadar terbatas pada aktivitas makan dan minum saja dan pada makanan dan minumannya saja, namun juga pada amal ibadah lainnya yang dikerjakan pada waktu sahur seperti memohon ampun kepada Allah, sholat Lail dan qiro’atul Qur’an.

“(yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur.” (QS. Ali ‘Imran [3]:17)

Waktu sahur yang istimewa ini hanyalah milik orang-orang yang istimewa. Siapakah orang-orang yang istimewa tersebut? Mereka adalah orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berkeinginan menjadi orang bertaqwa atau meningkatkan derajat taqwa mereka. Hanya merekalah yang mampu memanfaatkan kesempatan emas tersebut dengan sebaik-baiknya.

“Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?." Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai; mereka kekal didalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS. Ali ‘Imran [3]:15)

Ayat kelima belas dari Surat Ali ‘Imran tersebut terdapat kalimat “orang-orang yang bertaqwa”. Kedua ayat tersebut di atas saling berkaitan dan satu kesatuan. Dengan demikian dapat disimpulkan, salah satu ciri orang bertaqwa adalah memohon ampun kepada Allah swt. di waktu sahur sepanjang tahun baik di dalam maupun di luar Ramadhan.

Sudah maklum bahwa taqwa adalah buah dari puasa Ramadhan. Taqwa adalah tujuan berpuasa di bulan Ramadhan. Jika Anda berkeinginan kuat puasa Ramadhan Anda berhasil sesuai dengan targetnya yaitu membentuk Anda menjadi orang yang bertaqwa atau meningkat derajat taqwa Anda, maka tentu Anda tidak menyia-nyiakan waktu sahur di bulan Ramadhan dengan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang sia-sia seperti menonton TV.

Selama Ramadhan ini, sudahkah kelihatan bahwa Anda punya keinginan kuat? Itu bisa Anda lihat sendiri. Apakah Anda mengisi waktu sahur Anda selama ini dengan beraneka macam ibadah seperti istighfar, dzikir, membaca al-Qur’an dan sholat Lail? Jika ya, selamat buat Anda. Namun jika Anda sekadar melakukan perbuatan-perbuatan yang tak ada gunanya bagi kehidupan agama dan akhirat Anda seperti menonton TV, berarti keinginan Anda patut diragukan dan dipertanyakan.

Setelah Ramadhan usai nanti akan terlihat efektifitas puasa Ramadhan Anda. Efektifitasnya bisa Anda lihat sendiri. Apakah di sebelas bulan ke depan Anda terbiasa, ringan, mudah dan senang bangun di malam hari untuk taqorrub ilallah? Ataukah Anda tidak terbiasa, berat, sulit dan tidak senang bangun di malam hari untuk taqorrub ilallah?

Atau Anda termasuk orang yang suka bangun malam, tapi untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak bisa menolong Anda di alam barzah dan di kampung akhirat kelak seperti menonton TV?

Hanya Anda sendiri yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.

Semoga kita dipertemukan lagi dengan Ramadhan tahun depan sehingga masih ada kesempatan lagi untuk melatih diri kita menjadi orang-orang yang bertaqwa atau meningkat derajat taqwa kita. Amin.

Tuesday, August 2, 2011

What Next After Ramadhan?


Sebagaimana di bulan Ramadhan di tahun-tahun yang telah lalu, di bulan Ramadhan yang baru saja kita jalani ini, suasana agamis dalam kehidupan sehari-hari menjadi lebih kentara dan lebih terasa di banding dengan bulan-bulan sebelumnya.

Suasana agamis yang ada di masyarakat tersebut dapat dirasakan kehadiran dan dampaknya tak lain dan tak bukan disebabkan karena banyak pihak dan orang yang tergerak secara serempak berlomba-lomba dalam kebaikan. Masjid-masjid, perkantoran, kampus-kampus, sekolah-sekolah dan tempat lainnya menyelenggarakan berbagai macam kegiatan yang meningkat jumlah dan frekwensinya.

Media cetak dan elektronik - lepas dari maksud dan tujuannya masing-masing – juga tak ketinggalan menambah jumlah konten yang bernuansa Islam. Para artis “mendadak”berjilbab. Juga para tokoh masyarakat dan pejabat baik yang Muslim maupun non-Muslim mengeluarkan himbauan agar umat selain pengikut agama Islam toleran kepada saudara sebangsanya yang Muslim dalam melaksanakan ibadah puasa sebagai salah satu pengabdian dari beragam bentuk pengabdian lainnya kepada yang telah menciptakannya.

Tidak sedikit di antara pemilik atau pengelola rumah makan baik yang Muslim maupun non-Muslim yang tidak membuka lebar-lebar pintu-pintu dan jendela-jendela rumah makan-rumah makan mereka di saat kaum Muslim menahan rasa lapar, dahaga dan hawa nafsu. Bahkan di beberapa daerah sebagian jenis usaha atau tempat hiburan dilarang beroperasi sama sekali atau diminta untuk mengurangi jam operasinya untuk menghormati bulan suci Ramadhon.

Selain itu tentu saja di bulan yang merupakan kesempatan yang baik untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas amaliyah ibadah baik ibadah yang vertikal maupun horisontal, banyak orang Muslim yang memanfaatkan dengan baik peluang emas ini untuk meningkatkan iman dan takwa mereka dengan jalan memperbanyak jumlah dan panjang barisan musholli di berbagai musholla, jumlah roka'at sholat-sholat sunat, tadarrus al-Qur'an, istighfar, do'a, sholawat kepada Rosululloh saw, serta dengan jalan memberikan bantuan kepada saudara-saudara mereka yang kurang beruntung dari segi materi.

Di antara mereka ada yang ber-amar ma'ruf nahi munkar dengan memberikan ceramah atau nasehat, menghimbau kepada mereka yang tidak berpuasa agar menghormati mereka yang berpuasa, mengajak saudara seaqidah mereka untuk berbuat kebajikan seperti tadarrus al-Qur'an bersama-sama atau sholat tarowih berjama'ah, atau sekedar membangunkan mereka yang akan berpuasa untuk makan sahur, memberitahu atau mengingatkan batas akhir makan sahur. Dan masih banyak amaliyah ibadah lain yang mereka lakukan dan tingkatkan di bulan suci tersebut.

Dengan meningkatnya suasana agamis di bulan suci yang baru saja mulai ini, membuat hati kita merasa lebih tenteram, damai, bahagia dan nikmat.

Lalu seusai Ramadhan, what next? Setelah Ramadhon usai nanti akankah hati kita juga merasakan setenteram, sedamai, sebahagia dan senikmat di bulan puasa yang kita jalani saat ini? Ataukah di tahun-tahun mendatang kita hanya merasakannya di bulan Ramadhan saja dan tidak di 11 bulan lainnya? Ataukah perasaan-perasaan itu semakin bertambah, tetap, berkurang atau bahkan hilang sama sekali dengan bertambahnya usia kita? Wallahu a’lam. Kita tidak tahu secara pasti. Yang kita ketahui bahwasanya kita semua tak terkecuali pasti mempunyai keinginan agar hati kita selalu merasa demikian sepanjang hayat.

Dengan demikian sudah sewajarnya kita - apapun profesi kita - pasti ingin dan akan selalu berusaha terus-menerus hari demi hari untuk menciptakan - jika belum ada sebelumnya -, mempertahankan serta meningkatkan suasana agamis di dalam keluarga, tempat kerja, desa, kota, propinsi dan negara kita. Serta merasa membutuhkan bahkan kecanduan untuk selalu merasakannya sepanjang tahun dan sepanjang hati kita masih berfungsi.

Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, kandidat Master Studi Al-Qur'an di IIUM (International Islamic University Malaysia)

http://hidayatullah.com/read/18297/03/08/2011/what-next-after-ramadhan?.html

Monday, July 25, 2011

Wahai Saudariku, Kenapa Engkau Berpakaian Tapi Telanjang?

Oleh: Abdullah al-Mustofa

SAM JACKSON, bos sebuah perusahaan di New Castle, Inggris pernah mengatakan, " Sekarang kita bisa saling melihat satu dengan yang lain dalam keadaan telanjang, tidak ada penghalang lagi. Dengan tradisi baru ini, kami menemukan bahwa kami menjadi lebih bebas dan terbuka terhadap satu dan lainnya. Dampaknya terhadap perusahaan menjadi lebih baik.”

Menurutnya, ide, inovasi dan terobosan kreatif amat penting dilakukan di masa-masa krisis ekonomi seperti sekarang ini. Bekerja dalam keadaan telanjang diyakininya dapat memompa semangat dan meningkatkan produktivitas kerja. Mengenakan pakaian merupakan penghalang bagi peningkatan prestasi kerja. Dengan cara ini omzet perusahaan akan meningkat karena para karyawannya sangat bergairah ketika bekerja.

Untuk itu dia membuat peraturan, seminggu sekali setiap hari Jum’at para karyawannya baik laki-laki maupun perempuan diharuskan untuk tidak menempelkan sehelai benang pun pada tubuh mereka ketika bekerja di kantor. Lebih lanjut dia menambahkan, “Awalnya terasa aneh dan janggal, tapi setelah itu saya menjadi terbiasa. Saya berjalan telanjang menuju meja kerja saya, dan itu kini tidak masalah lagi. Saya merasa benar-benar nyaman.”

Peristiwa “Jumat Telanjang” tersebut dianggapnya sebagai sebuah kesuksesan yang besar dan berdampak positif bagi perusahaannya.

Itulah budaya, gaya hidup, dan cara berpikir orang Barat non Muslim yang materialis, permisif and hedonis. Demi mendapatkan dunia berupa materi, mereka rela berperilaku seperti hewan. Bahkan berperilaku lebih sesat dari hewan.
Budaya, gaya hidup dan cara berpikir Muslim dan Muslimah tentu sangat berbeda dengan mereka.

Oki Setiana Dewi, artis layar lebar yang sukses memerankan tokoh Anna Althafunnisa dalam film “Ketika Cinta Bertasbih” pada suatu kesempatan mengatakan, “Semua bagian tubuh berharga itu telah dikategorikan dengan sebutan aurat, baik laki-laki dan perempuan. Bagian tubuh perempuan yang termasuk aurat harus ditutupi lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. “Kenapa perempuan harus lebih banyak menutupi bagian tubuhnya? Sebab perempuan memang dipenuhi dengan bagian tubuh yang berharga dan harus dijaga dengan jilbab atau busana yang menutupnya,” ujarnya.

Fenomena berbusana Muslimah, berjilbab atau sekadar berkerudung di kalangan artis, model dan selebritis sedikit banyak telah ikut menyumbang sosialasasi budaya Islam di tengah masyarakat sehingga semakin banyak wanita Muslimah Indonesia yang berbusana Muslimah, berjilbab, atau sekadar berkerudung.

Dengan semakin marak dan memasyarakatnya budaya Islam ini di tengah masyarakat kita patut menghaturkan rasa syukur kepada Allah swt. Selain rasa syukur, pada saat yang sama, rasa sesal juga wajar muncul di hati. Rasa sesal ini muncul karena masih banyak saudari-saudari seiman kita yang belum, tidak mau, tidak bisa, atau salah paham dalam memahami definisi jilbab yang sesungguhnya, sehingga tidak sedikit dari mereka yang masih belum memenuhi seluruh syarat dan ketentuan berbusana sebagaimana yang telah diatur oleh Sang Pembuat syari’at.

Mengapa ada sebagian Muslimah yang belum memenuhi seluruh syarat dan ketentuan berbusana Muslimah? Karena ada sebagian Muslimah ketika beraktivitas di luar rumah atau ketika berhadapan dengan non muhrimnya ketika berada di rumah mengenakan pakaian tapi masih ada bagian aurat lainnya yang terbuka seperti rambut. Mengenakan pakaian ketat, pendek, berbahan tipis, dan atau berbahan transparan. Karena ada sebagian Muslimah yang mengenakan jilbab ketat, pendek, berbahan tipis, dan atau berbahan transparan.

Muslimah seperti ini meskipun mengenakan pakaian atau bahkan berjilbab menurut Rasulullah saw dikategorikan sebagai telanjang.

"Dua golongan di antara penghuni neraka yang belum aku lihat keduanya: suatu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi yang mereka gunakan untuk memukul orang-orang; perempuan yang berpakaian, tetapi telanjang yang cenderung dan mencenderungkan orang lain, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium aroma surga. sesungguhnya aroma surga itu bisa tercium sejauh perjalanan demikian dan demikian." (HR. Muslim)

Ibnul Jauzi yang berpendapat bahwa berpakaian tapi telanjang ada tiga makna;
Pertama, wanita yang memakai pakaian tipis, sehingga nampak bagian dalam tubuhnya.
Kedua, wanita yang membuka sebagian aurat tubuhnya.
Ketiga, wanita yang mendapatkan nikmat Allah namun tidak bersyukur kepada-Nya.

Menurut Imam An-Nawawi, berpakaian tapi telanjang mengandung beberapa arti. Pertama, berpakaian atau dibungkus nikmat Allah swt tetapi telanjang dari bersyukur kepada-Nya. Kedua, terbungkus pakaian tetapi telanjang dari perbuatan baik dan perhatian terhadap akhirat serta tidak berbuat taat. Ketiga, mengenakan pakaian tetapi tampak sebagian auratnya; Keempat, berpakaian tipis yang masih memperlihatkan warna kulit dan lekuk tubuhnya.

Allah swt memberitahukan kepada kita tujuan diturunkan pakaian kepada kita adalah untuk menutup aurat. Jika berpakaian tapi jika ada sebagian aurat yang masih terbuka, lekuk tubuh jelas terlihat karena mengenakan pakaian ketat, atau anggota tubuh yang wajib ditutupi dan warna kulit nampak karena mengenakan pakaian tipis dan transparan berarti kita menyalahi aturan Allah swt dan tujuan Allah swt menurunkan pakaian, yang sama artinya kita berani menentang Allah swt.

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاساً يُوَارِي سَوْءَاتِكُمْ وَرِيشاً وَلِبَاسُ التَّقْوَىَ ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup 'auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS. Al-A’raaf [7]:26)

Wahai saudariku! janganlah kalian mau ditipu oleh setan yang menyuruhmu untuk berpakaian tapi sesungguhnya telanjang! Jika engkau tidak mau dan tidak dapat ditipu oleh setan berarti engkau tidak menjadikan setan sebagai pemimpinmu.
يَا بَنِي آدَمَ لاَ يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُم مِّنَ الْجَنَّةِ يَنزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْءَاتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاء لِلَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ

“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al-A’raaf [7]:27)

Wahai saudariku, kenapa engkau berpakaian tapi telanjang? Apa niat dan tujuanmu? Apakah karena ingin tampil trendy? Apakah karena ingin memamerkan anggota tubuh dan keindahan tubuhmu? Apakah ingin merasa modern dan tidak ingin dicap kolot dan ketinggalan jaman? Apakah karena takut tidak bisa mendapatkan dunia berupa pekerjaan atau materi?

Wahai saudariku, ketika engkau mendirikan shalat menghadap Allah swt tentu engkau berpakaian lebar dan panjang. Engkau tentu tidak berani berpakaian ketat dan pendek. Engkau tentu tidak berani menampakkan sebagian atau seluruh bagian auratmu, atau menampakkan bentuk lekuk-lekuk tubuhmu. Demikian juga halnya di dalam kehidupan sehari-hari di luar (selain) shalat, tentu engkau pasti tidak berani menentang Allah dan Rasul-Nya. Engkau tahu dan paham, ajaran Islam termasuk cara berbusana tidak hanya diamalkan ketika shalat saja, tapi harus diamalkan dalam segala aktivitas kehidupan.

Wahai saudariku, jika engkau tercatat sebagai pelajar/mahasiswi sebuah lembaga pendidikan atau sebagai pegawai sebuah perusahaan tentu engkau mematuhi peraturan berbusana yang ada. Engkau pasti tidak berani menentang peraturan yang ada. Demikian juga halnya sebagai Muslimah, engkau tentu bersedia mematuhi peraturan yang ditetapkan agamamu.

Jika ada pertentangan antara peraturan di mana engkau belajar atau bekerja dengan peraturan agamamu, tentu engkau lebih memilih agamamu. JIka kebijakan pemimpin di tempat belajar atau bekerjamu bertentangan dengan aturan Tuhanmu, tentu engkau lebih takut kepada Tuhanmu dan lebih memilih aturan Tuhanmu. Engkau tahu dan sadar pemimpinmu bukanlah Tuhanmu, tidak mampu menyelamatkan dirimu dari azab di dunia dan di kampung akhirat. Engkau tahu dan sadar engkau tidak ingin ikut masuk neraka jika pemimpinmu masuk neraka. Jangan sampai kelak di akhirat engkau mengatakan kepada Allah swt. perkataan sebagaimana termaktub dalam ayat berikut ini:
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا

“Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” (QS. Al-Ahazab [33]:67)

Wahai saudariku, Allah swt lah yang memberimu pakaian. Maka bersyukurlah kepada-Nya. Bersyukur dengan cara mematuhi segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya termasuk dalam hal berbusana.

“Wahai hamba-Ku, kamu semua asalnya telanjang, kecuali yang telah Aku beri pakaian, maka hendaklah kamu minta pakaian kepada-Ku, pasti Aku memberinya.” (HR. Muslim)

Wahai saudariku! Takutlah peringatan nabimu. Beliau saw. memperingatkan wanita-wanita berpakaian tapi telanjang tidak akan bisa mencium bau surga dari jarak jauh. Mencium baunya saja tidak, apalagi masuk ke dalamnya. Na’udzubillah min dzalik! Wallahu a’lam bishshowab.

Abdullah al-Mustofa, penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, kandidat Master Studi Al-Qur'an di IIUM (International Islamic University Malaysia)

http://www.hidayatullah.com/read/17397/06/06/2011/undefined


Monday, May 2, 2011

Menjadi Mulia dengan Memuliakan Diri di Hadapan Allah

SEORANG  anggota Brimob Polda Gorontalo bernama Briptu Norman Kamaru --yang sebelumnya namanya tidak terkenal di tingkat lokal-- mendadak menasional bak artis. Negeri kita memang aneh, hanya karena orang  bergoyang ala India, tiba-tiba banyak orang, baik di jalan-jalan, di parlemen ikut tersihir. Termasuk media televisi kita.
Berita tentang dirinya  dimuat berhari-hari di media massa cetak,  TV maupun online. Berkat kemampuannya menirukan jogednya Shahrukh Khan videonya di Youtube diunduh 1.035.359 kali (sampai Jumat, 8 Maret 2011), membuat namanya lebih populer dibanding bintang film India Shahrukh Khan yang membintangi film “My Name is Khan” yang memecahkan rekor Box Office di Inggris dan Amerika.
Atas jasa media –termasuk TV pula--- ia disanjung banyak orang, diundang beberapa pejabat, mendapatkan beasiswa, dianggap sebagai pahlawan karena telah menjadikan polisi sebagai sosok yang lebih humanis di mata masyarakat dan menciptakan suatu pencitraan yang baik bagi ratusan ribu polisi teman-temannya. Walhasil, ia menjadi mulia di mata masyarakat.
Karena Ketaqwaan
Menjadi mulia adalah keinginan setiap manusia, namun tidak setiap manusia mengetahui hakekat kemuliaan. Kemuliaan yang hakiki adalah mulia di sisi Allah.
Mulia di sisi Allah pasti  mendatangkan keberkahan yang sebenarnya. Lalu ukuran apakah yang bisa digunakan untuk menilai seseorang mulia di sisi Allah atau tidak?
Satu-satunya ukurannya adalah ketaqwaaan. Jika seseorang sudah mencapai derajat taqwa, dia telah mulia di sisi Allah. Semakin tinggi tingkat ketaqwaannya, semakin mulia kedudukannya di sisi Allah. Sekadar ber-Islam dan beriman tanpa bertaqwa bukanlah ukuran mulia di sisi Allah. Apatah lagi harta, kedudukan,  jabatan, profesi, gelar akademik dan gelar-gelar lainnya, prestasi akademik dan prestasi-prestasi lainnya, pakaian kebesaran dan pakaian-pakaian lainnya, popularitas, ketampanan atau kecantikan, dan hal-hal yang bersifat duniawi lainnya.

“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat [49]:13)
Dengan berpedoman pada wahyu-Nya tersebut, manusia bisa melihat dirinya sendiri dan orang lain secara kasat mata apakah telah mencapai derajat taqwa dan seberapa tinggi tingkat ketaqwaanya.
Salah satu ciri orang-orang yang bertaqwa dalam al-Quran adalah “yuqiimuun ash-sholah” (mendirikan shalat) sebagaimana tersebut dalam dua ayat berikut ini.
“Kitab  (al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah [2]:2-3)
Kata ash-sholah di dalam al-Qur’an bergandengan dengan kata kerja dasar aqooma (mendirikan) bukan ’amala (mengerjakan). Dalam ayat tersebut di atas, kata yang bergandengan dengan kata as-sholah adalah yuqiimuna (mendirikan), bukan ya’maluuna (mengerjakan). Yang dimaksud dengan mendirikan shalat adalah memelihara atau menjaga shalat, dalam arti tidak melalaikannya. Definisi tidak melalaikan shalat adalah sebagai berikut: Shalat wajib lima waktu tidak ada yang bolong. Melakukan setiap shalat dengan khusyu’ dan tuma’ninah. Melaksanakan shalat fardhu tepat waktu (tidak menunda-nunda) dan bagi laki-laki wajib berjama’ah di masjid (musholla/surau/nama lainnya).
Selain mendirikan shalat. ciri orang bertaqwa lainnya yang juga penting untuk dikemukakan di sini adalah sedikit tidur di malam hari dengan cara segera tidur di awal malam dan segera bangun di tengah malam atau di akhir malam sebelum fajar menyingsing untuk beribadah kepada Allah dengan mendirikan shalat Lail (tahajjud), membaca al-Qur’an, berdzikir, memanjatkan do’a, dan memohon ampun kepada Allah.
Al-Quran menyebutkan;
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS. Adz-Dzaariyaat [51]:15-18)
Sedangkan ciri lain orang yang paling bertaqwa adalah menafkahkan hartanya di jalan Allah.
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya.” (QS. Al-Lail [92]:17-18)
Kemudian, keuntungan apa saja yang pasti diperoleh oleh orang-orang bertaqwa?
Salah satu keuntungan yang didapatkan orang bertaqwa di dunia adalah ketika ajal datang kepadanya malaikat mencabut nyawanya dalam keadaan baik. Ketika meninggal, setiap orang berbeda keadaannya, ada yang baik dan ada yang tidak baik. Baik atau tidak tergantung masing-masing individu, apakah telah mencapai derajad taqwa atau tidak.
“(yaitu) surga Adn yang mereka masuk ke dalamnya, mengalir di bawahnya sungai-sungai, di dalam surga itu mereka mendapat segala apa yang mereka kehendaki. Demikianlah Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): "Salaamun'alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan".” (QS. An-Nahl [16]: 31-32)

Di akhirat, keuntungan yang akan didapatkan orang-orang bertaqwa adalah memperoleh surga yang memang sudah disediakan khusus oleh Allah untuk mereka.

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali I’mron [3]:133)
Dengan mengetahui keberkahan yang pasti diperoleh oleh orang-orang yang bertaqwa yang tidak bisa diragukan lagi pasti mulia di sisi Allah apakah kita masih mengejar kemuliaan diri dan memuliakan manusia yang dimuliakan menurut kaca mata dan di mata manusia?
Karenanya, marilah kita jadikan diri kita, apapun profesi kita. Baik sebagai pemimpin, pejabat, pemilik dan pelaku media, selebritis, maupun lainnya berusaha menjadikan diri kita sendiri mulia di sisi Allah dan memuliakan orang-orang yang mulia di sisi Allah.*

Abdullah al-Mustofa, penulis adalah kolumnis hidayatullah.com dan kandidat Master Studi Al-Qur'an di IIUM (International Islamic University Malaysia)

http://hidayatullah.com/read/16698/29/04/2011/menjadi-mulia-dengan-memuliakan-diri-di-hadapan-allah-.html

Wednesday, April 20, 2011

Jadikanlah Qiro’atul Qur’an sebagai Life Style Anda!

Oleh: Abdullah al-Mustofa*

“Maca Qur’an angen-angen sak maknane” (Membaca Qur’an dengan merenungkan maksudnya) adalah salah satu obat hati. Begitulah sepenggal teks lagu religi klasik berbahasa Jawa “Tombo Ati” menasehati. Hati yang sedih, gelisah, takut (kepada selain Allah), marah dan kuatir memerlukan obat. Hati yang tidak ridho, tidak puas, tamak, iri, dengki dan hasad juga membutuhkan obat. Salah satu obat mujarab yang telah ditawarkan Islam adalah dengan membaca Al-Qur’an dengan merenungkan maksud kandungan Al-Qur’an.

Namun sayangnya, ada sebagian umat Islam yang jarang bahkan sama sekali tidak pernah memanfaatkan obat yang telah diberikan penciptanya dan lebih memilih menggunakan beragam obat lainnya hasil karya ciptanya sendiri untuk mengobati hatinya, meskipun tanpa disadari sebenarnya pada kenyataannya obat-obat tersebut tidak atau kurang mujarab, atau efektif untuk sementara waktu saja. Salah satu obat yang seringkali mereka gunakan adalah hiburan dengan segala bentuk dan jenisnya baik yang bernuansa religi maupun yang tidak.

Hiburan Sebagai Obat Hati dan Pedoman Hidup
Di jaman yang sarat dan marak dengan hiburan yang semakin beragam jenis dan bentuknya, serta bisa didapat dengan mudah dan murah seperti sekarang ini hiburan tidak lagi sekedar berfungsi sebagai tontonan tapi telah menjadi kebutuhan, bahkan telah menjadi tuntunan. Menghibur diri dengan dan mendapatkan pedoman hidup dari hiburan telah menjadi gaya hidup (bahkan gaya hidup utama) manusia modern apapun ras dan agamanya tanpa terkecuali yang beragama Islam.

Sepanjang sejarahnya, manusia telah dan selalu mencari, menciptakan dan memanfaatkan hiburan untuk mengobati hatinya yang sedih, takut, kuatir, gelisah dan marah agar hatinya senang, bahagia, tenang dan tentram. Hingga di jaman ini, manusia juga memanfaatkan hiburan sebagai referensi untuk mendapatkan pedoman hidup dalam mengobati hatinya, menjalani kehidupan dan menyelesaikan problematika hidupnya. Aktivitas tersebut telah menjadi aktivitas yang penting dan utama, serta tidak bisa ditinggalkan oleh manusia modern.

Perlakuan Tidak Wajar Terhadap Hiburan
Sudah tidak sulit lagi menyaksikan ada sebagian manusia yang telah memperlakukan hiburan melewati batas kewajaran dan fungsinya. Hiburan telah menjadi dan mendapatkan prioritas dalam hidup. Hiburan masih mendapatkan jatah waktu meskipun waktu sudah dirasakan sempit dan habis. Hiburan masih mendapatkan jatah tempat di hati dan pikiran meskipun hati dan pikiran sudah letih dan terasa sudah penuh dengan masalah-masalah hidup dan serasa tidak ada tempat untuk hal-hal lainnya.

Demikian pula perlakuan terhadap alat-alat hiburan. Alat-alat hiburan juga masih mendapatkan jatah tempat di rumah meskipun harus dipaksakan membelinya dan dipaksakan mendapatkan jatah tempat di rumah meskipun sudah sesak dengan segala perabot dan alat-alat elektronik seperti televisi dan sound system.

Acuh Tak Acuh Terhadap Al-Qur’an
Sedangkan kebalikannya, Al-Qur’an tidak diperlakukan sebagaimana mestinya. Al-Qur’an tidak mendapatkan perlakuan yang sama dengan hiburan. Bahkan Al-Qur’an kalah dibandingkan dengan hiburan. Al-Qur’an digeser oleh hiburan! Al-Qur’an tidak dipedulikan! Sangat mudah menemukan Muslim-Muslim di zaman ini yang bersikap acuh tak acuh terhadap Al-Qur’an.

Acuh tak acuh terhadap Al-Qur’an bukan berarti tidak menghargainya secara fisik saja seperti merobek atau memasukkannya ke lubang WC. Acuh tak acuh bisa berarti lebih memprioritaskan hiburan seperti lagu, musik dan film dibandingkan Al-Qur’an untuk mengobati hatinya dan untuk mendapatkan petunjuk dalam mengobati hatinya, menjalani kehidupan dan mengatasi problem kehidupan. Bisa berarti memprioritaskan lagu-lagu religi dalam bahasa Arab atau bahasa lainnya dibandingkan Al-Qur’an untuk dibaca secara “munfarid” atau “jama’ah” dengan harapan bisa mendapatkan pahala. Bisa berarti tidak atau kurang membaca, mempelajari dan mengamalkannya. Bisa berarti tidak atau kurang memberikan jatah perhatian, waktu, tempat di hati atau “sekedar” jatah tempat di rumah untuk Al-Qur’an. Dan juga bisa berarti salah dalam mengamalkannya seperti menjadikannya sebagai jimat atau jampi-jampi.

Memperlakukan Al-Qur’an Secara Wajar
Hal itu tidaklah patut untuk Muslim karena Al-Qur’an harus diperlakukan dengan wajar dan sesuai dengan peran dan fungsinya. Perlakuan yang wajar adalah dengan mengfungsikannya sebagai rujukan utama dalam mengobati hati, dan lebih umum lagi dalam menjalani kehidupan dan mengatasi segala problem hidup baik secara personal maupun komunal. Memperlakukannya secara wajar adalah dengan tidak meragukan kebenaran Al-Qur’an, tidak mencari petunjuk hidup selain dari yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, tidak menomorduakan Al-Qur’an dan tidak memprioritaskan selainnya, tidak menggantikan Al-Qur’an dengan hiburan atau lainnya. Memperlakukannya secara wajar adalah dengan cara membaca, mempelajari dan mengamalkan keseluruhan isi Al-Qur’an secara rutin dan tiada henti setiap saat dalam kehidupan. Dengan memperlakukannya secara wajar sesuai peran dan fungsinya tentu ada manfaat yang besar dan banyak yang akan diterima dan dirasakan oleh para pelakunya.

Manfaat Membaca Al-Qur’an
Dua di antara manfaat membaca Al-Qur’an adalah hati menjadi tenang dan gembira, dan mendapatkan dua macam petunjuk dari Allah. Dengan membaca Al-Qur’an hati menjadi tenang dan gembira karena Al-Qur’an adalah bacaan dzikir terbaik. Dengan kata lain, membaca Al-Qur’an merupakan cara terbaik mengingat Allah. Hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenang.

Dengan membacanya, Allah memberikan ketenangan dan kegembiraan hati kepada para pembacanya dengan dua jalan. Pertama, Allah membuat hati para pembacanya menjadi tenang dan gembira secara langsung. Dan kedua, hati mereka menjadi tenang dan gembira setelah mengetahui berbagai informasi dari Al-Qur’an meliputi cara menghadapi hidup dan janji-janji Allah bagi mukmin yang sabar dan tawakal.

Allah berfiman yang artinya: “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah.” (QS. Az-Zumar [39]:23)

Allah berfiman yang artinya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d [13]:28)

Allah berfiman yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.” (QS. Yunus [10]:57-58)

Dengan membaca Al-Qur’an para pembacanya juga akan mendapatkan dua macam petunjuk dari Allah. Jenis pertama adalah petunjuk yang langsung diberikan Allah berupa ilham yang dilhamkan ke dalam benak dan hatinya. Dan jenis kedua berupa berbagai ilmu dan informasi yang berharga, haq, valid, benar dan baik dari Al-Qur’an. Kedua petunjuk tersebut sangatlah penting dan bermanfaat dalam menghadapi kehidupan dengan segala problematikanya.

Allah berfiman yang artinya: “Kitab (Al Quraan) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (QS. Al-Baqoroh [2]:2)

Allah berfiman yang artinya: “Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mu’min.” (QS. Fushilat [41]:44)
Allah berfiman yang artinya: “Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. An-Naml [27]:77)

Allah berfiman yang artinya: “Thaa Siin (Surat) ini adalah ayat-ayat Al Qur’an, dan (ayat-ayat) Kitab yang menjelaskan, untuk menjadi petunjuk dan berita gembira untuk orang-orang yang beriman.” (QS. An-Naml [27]:1-2)

Allah berfiman yang artinya: “Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.” (QS. Az-Zumar [39]:23)

Kesimpulan dan Harapan
Mengingat betapa besar manfaat dan betapa pentingnya aktivitas membaca Al-Qur’an, sudah sepatutnya dan sewajarnya setiap pribadi Muslim menjadikan aktivitas Qiro’atul Qur’an (membaca Al-Qur’an) sebagai life style (gaya hidup) dan aktivitas utamanya dalam kehidupan sehari-hari. Mengfungsikan Al-Qur’an sebagai bacaan, referensi, sarana hiburan dan penenang utama. Memberikan pada Al-Qur’an (lebih banyak) jatah waktu, jatah tempat di hati dan pikiran. Tidak membaca surat tertentu saja seperti Surat Yasin, dan ayat tertentu saja misalnya Ayat Kursy. Tidak membacanya di hari tertentu saja seperti hari Kamis malam. Tidak membacanya di bulan tertentu saja seperti Ramadhan. Tidak membacanya di kesempatan tertentu saja. Dan tidak membacanya pada acara tertentu saja seperti acara khataman Al-Qur’an.

Dengan menjadikan aktivitas Qiro’atul Qur’an sebagai life style, mudah-mudahan kita tidak termasuk golongan yang acuh tak acuh terhadap Al-Qur’an seperti yang pernah dikuatirkan oleh Rasulullah saw. dan disebutkan ayat Al-Qur’an di bawah ini:

Allah berfiman yang artinya: “Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an itu sesuatu yang tidak diacuhkan” (QS. Al-Furqon [25 ]:30)
Sehingga kita tidak akan pernah menggantikan kitab suci kita dengan hiburan atau lainnya dalam berbagai sendi dan aktivitas kehidupan sehari-hari termasuk ketika beribadah dan ketika berada di manapun termasuk ketika berada di tempat ibadah  Na’udzubillah min dzalik!

Tips Menjadikan Qiro’atul Qur’an sebagai Life Style:
  1. Memasukkan aktivitas membaca dan mempelajari Al-Qur’an ke dalam skedul aktivitas dan program hidup.
  2. Membuat jadwal khusus untuk, dan menetapkan target waktu dan target juz atau surat dalam membaca dan mempelajari Al-Qur’an.
  3. Membuat kalender khusus yang memuat jadwal dan target (waktu dan juz/surat) membaca dan mempelajari Al-Qur’an, dan memberi tanda conteng pada kolom yang terdapat dalam kalender tersebut setiap hari dan setiap menyelesaikan satu juz atau surat.