Sunday, January 29, 2012

“Jihad Sosial” atau Haji Yang Layak Sebagai Gaya Hidup?

Oleh: Abdullah al-Mustofa

SEBUAH sinetron berdasarkan kisah nyata dari Mesir beberapa hari yang lalu ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi swasta tanah air. Sinetron tersebut mengisahkan seorang ibu yang diajak putranya pergi ke Tanah Suci untuk melaksanakan ibadah umrah. Betapa bahagianya si anak karena ibunya dapat mengunjungi Tanah Suci. Tapi kebahagiannya itu berubah menjadi kesedihan tatkala ibunya berada di dalam kawasan Masjidil Haram tidak bisa melihat Ka’bah karena tidak bisa melihat apa-apa kecuali kegelapan.

Dia tidak putus asa. Dia tiada putus memohon kepada Allah swt agar Dia berkenan mengampuni dosa-dosa ibunya serta membuat ibunya bisa melihat Ka’bah. Namun Allah swt belum berkenan mengabulkan doa-doanya hingga saatnya harus kembali ke tanah air mereka. Dia pun tidak putus asa untuk mengajak ibunya untuk pergi ke Tanah Suci hingga lima kali umrah dan satu kali haji meskipun ternyata ibunya tetap mengalami hal yang sama, ibunya selalu mengalami kebutaan ketika berada di kawasan Masjidil Haram.

Di laman web onislam.com berbahasa Inggris ada seorang yang telah tiga kali melaksanakan haji dan berencana akan melaksanakan haji tahun ini mengajukan pertanyaan apa yang sebaiknya dia lakukan antara memenuhi keinginan diri sendiri dengan melaksanakan haji lagi dan memenuhi kebutuhan umat dengan jalan membantu meringankan beban umat Islam yang dirundung kemalangan.

India-Centric: Kejahilan Melihat Islam dan Sejarah Islam Nusantara

oleh: Abdullah al-Mustofa

BERDASARKAN pandangan “India-Centric” para sejarawan berpendapat, Islam di Nusantara berasal dari India dan para pionir penyebar Islam di Nusantara adalah para pedagang India, demikian ungkap Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam ceramahnya pada acara “Special Lecture Series” yang diselenggarakan CASIS-UTM (Centre for Advanced Studies on Islam, Science and Civilization-University Teknologi Malaysia) di kampus internasional UTM Kuala Lumpur Malaysia beberapa waktu lalu.

Dalam bukunya “Historical Fact and Fiction” al-Attas mengatakan, “Historians have been unjustifiably skeptical and produced all sorts of conjectures without adducing positive proofs; conjectures in which the role of India dan Indians have been unduly magnified. They have been doing this order to fit their theory of the spread of Islam from India and Indians, an Islam already colored by Hindu-Buddist mode of thought and belief concordant with the autochthonous tradition of the Malay peoples, in such a way as to explain that the ground was prepared for the “easy” adaptation of Islam by the peoples of the Archipelago.” (hal. 148)

Para sejarawan berpendapat demikian hanya berdasarkan dugaan yang terlalu dibesar-besarkan tanpa mengemukakan bukti-bukti yang positif. Mereka mencari-cari pembenaran untuk mendukung teori mereka. Mereka melihat Islam “versi” India adalah faktor penyebab mengapa Islam datang lebih awal di Nusantara dan mudah diterima oleh masyarakat Nusantara. Mereka mengatakan, Islam “versi” India yang telah terwarnai ajaran Hindu dan Budha memang sesuai dengan tradisi asli masyarakat Nusantara yang beragama Hindu dan Budha.

Benarkah Nusantara Telah Dikenal di Jaman Nabi?

Hidayatullah.com—Benarkan pulau Sumatra telah dikenal oleh Rasulullah saw semasa hidup, serta telah dilalui dan disinggahi para pedagang dan pelaut Arab di masa itu? Pernyataan ini diungkap Prof. Dr. Muhammad Syed Naquib al-Attas di buku terbarunya “Historical Fact and Fiction”.

Kesimpulan Al-Attas ini berdasarkan inductive methode of reasoning. Metode ini, ungkap al-Attas, bisa digunakan para pengkaji sejarah ketika sumber-sumber sejarah yang tersedia dalam jumlah yang sedikit atau sulit ditemukan, lebih khusus lagi sumber-sumber sejarah Islam dan penyebaran Islam di Nusantara memang kurang.

Metode Feminisme dan Gender “Copy-Paste” Studi Bibel

Hidayatullah.com—Gerakan feminisme dan kesetaraan gender yang merambah ke dalam studi Islam tidak hanya terbatas pada masalah fiqh dan hadith saja, tetapi ia juga masuk dalam studi al-Qur'an.

Kesesatan paham gender, yang sering diusung tokoh liberal dengan menggunakan metode kritik sejarah umumnya  diadopsi dari disiplin ilmu Kritik Bibel (Biblical criticism) yang digunakan dalam tradisi Kristen untuk mengkaji pertanyaan-pertanyaan teks, komposisi dan sejarah seputar Perjanjian Lama dan Baru.