Thursday, March 15, 2012

Menghadapi Syiah Lebih Susah dari Penganut Liberal

Hidayatullah.com—Belum lama ini, sebuah acara diskusi ilmiah tentang Syiah diikuti mahasiwa dan mahasiswi Indonesia di International Islamic University Malaysia (IIUM), Kualalumpur.

Dalam diskusi ilmiah bertema ”Memahami Kelainan Sy’iah” yang diselenggarakan oleh IKPM (Ikatan Keluarga Pondok Modern) Gontor Cabang Malaysia dan ISFI (Islamic Studies Forum for Indonesia) menghadirkan Henri Shalahuddin, MA, peneliti INSISTS (Institute for Teh Study of Islamic Thought and Civilizations).

Dalam makalahnya, Henri memaparkan beberapa bukti standar ganda yang dilakukan kaum Syiah.

Di antara yang dipaparkan Henri adalah sebuah buku yang ditulis Emilia Renita, seorang pendakwah Syi’ah berjudul “40 Masalah Syi’ah”.

Renita, dalam buku itu menyatakan, bahwa tujuan dia menulis bukunya bukan untuk menghujat, menyerang dan mengkafirkan Ahlussunnah. Pernyataannya ini diperkuat oleh suaminya, Jalaluddin Rahmat. Dalam pengantarnya, ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI) ini yang bertindak sebagai editor buku tersebut mengaku bahwa salah satu tujuan ditulisnya buku istrinya itu adalah untuk menumbuhkan saling pengertian di antara mazhab-mazhab dalam Islam.

Untuk menguatkan pendapatnya, Emilia bahkan memaparkan bahwa penafsiran para ulama Syi’ah yang menulis kitab-kitab tafsir “Tafsir al-Shafi”, “Majma’ al-Bayan”, “al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an” dan “al-Bayan fi Tafsir” tehadap surat Al-Hijr ayat 9 yang artinya; “Sesungguhnya Kami menurunkan peringatan (al-Qur'an) dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya" yang dinilai menguatkan jaminan Allah dalam menjaga al-Qur'an

Hanya saja masalahnya, menurut Henri, di satu sisi mereka menyatakan demikian, namun di sisi lain banyak buku-buku Syiah secara aktif dan provokatif menyebarkan paham kebencian kepada sahabat Nabi Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم).

Soal Tahrif

Beragam penyesatan terhadap ajaran Ahlussunnah, termasuk menuduh para ulama Sunni membenarkan adanya tahrif dalam al-Qur'an dengan menjungkirbalikkan makna beberapa Hadits yang diyakini kesahihannya oleh kaum Sunni, demikian ungkap Henri.

Dalamnya bukunya, Emilia juga membantah adanya tahrif (penambahan dan pengurangan) al-Qur’an dalam aqidah Syi’ah dan menyatakan bahwa pendapat tahrif di kalangan ulama Syiah adalah lemah. Namun pernyataan ini ditampik Henri.

Padahal menurut Henri, “Sejak dulu sampai sekarang para ulama Syi’ah menolak adanya tahrif dalam al-Qur'an.“

Namun Henri membuktikan bantahan dan pemaran Emilia ini sangat berbeda dengan kenyataan.

Dua kitab tafsir “Tafsir al-Shafi” karya al-Faidh al-Kasyani dan “Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an” karya Abu ‘Ali al-Thabarsi ternyata di dalamnya terdapat penambahan lafadz asing dalam ayat Kursi.

Henri menemukan, setelah lafadz: "Lahu ma fi l-samawati wa ma fi l-ardh", ada penambahan lafadz: "Wa ma baynahuma wa ma tahta l-tsara ‘alim al-ghayb wa l-syahadah al-rahman al-rahim."

Standar ganda bukan hanya dilakukan Emilia yang sekadar pendakwah, namun juga dilakukan ulama besar Syi’ah kebanggaan tokoh-tokoh Syi’ah sedunia yang bernama Abul Qasim al-Khuiy (1317H/1899M-1984M) yang menulis kitab tafsir “al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an.

Di dalam satu kitab yang sama tersebut beliau melakukan dua hal yang bertolak belakang. Di satu tempat beliau dia menolak tahrif dalam al-Qur'an dengan menjelaskan dalam satu fasal khusus tentang keterjagaan al-Qur'an dari tahrif (shiyanatul Qur’an min al-tahrif) dengan menulis di bagian akhir: “Seperti yang telah kami sebutkan (sebelumnya), sungguh menjadi jelaslah bagi para pembaca bahwa Hadits-Hadits yang berbicara tentang tahrif dalam al-Qur'an adalah Hadits khurafat dan khayalan belaka yang hanya diucapkan oleh orang yang lemah akalnya…” .

Namun di bagian lain beliau meyakini adanya tahrif dengan menulis; “Sesungguhnya banyaknya periwayatan yang menyebutkan adanya tahrif dalam al-Qur'an diwarisi secara meyakinkan, yang sebagiannya muncul dari orang-orang yang maksum (imam-imam Syiah, pen)… dan sebagiannya diriwayatkan dengan jalan yang terpercaya”. (al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, hal. 226).

Henri menyimpulkan, standar ganda ini adalah bagian dari taqiyyah kaum Syi’ah.

“Karena adanya taqiyyah, menghadapi kaum Syi’ah lebih susah dari pada menghadapi Islam Liberal”, ujarnya.*/Abdullah al Mustofa, Lumpur, Malaysia

http://hidayatullah.com/read/21682/14/03/2012/menghadapi-syiah-lebih-susah-dari-penganut-liberal.html

Thursday, February 23, 2012

Agar Selamat Dari Murka Allah dan Aliran Sesat

Allah swt berfirman yang artinya:

“Tunjukilah Kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah [1]:6)

Pendahuluan

Sudahkah doa memohon petunjuk di atas —yang mana telah sering dan banyak anda ucapkan— berpengaruh pada diri dan kehidupan anda? Apa pengaruhnya terhadap diri dan kehidupan anda? Bagaimanakah kualitas pengaruhnya? Apakah do’a tersebut telah efektif membentengi diri anda dari serangan virus-virus aliran, paham dan pemikiran sesat? Jika telah terinfeksi, apakah do’a tersebut efektif menghilangkan virus-virus tersebut? Jika jawaban dari semua pertanyaan tersebut adalah belum, tidak atau masih sedikit pengaruhnya, anda mesti mempertanyakan keimanan anda lalu menginstall ulang iman anda. Bagaimana caranya?

Sunday, January 29, 2012

“Jihad Sosial” atau Haji Yang Layak Sebagai Gaya Hidup?

Oleh: Abdullah al-Mustofa

SEBUAH sinetron berdasarkan kisah nyata dari Mesir beberapa hari yang lalu ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi swasta tanah air. Sinetron tersebut mengisahkan seorang ibu yang diajak putranya pergi ke Tanah Suci untuk melaksanakan ibadah umrah. Betapa bahagianya si anak karena ibunya dapat mengunjungi Tanah Suci. Tapi kebahagiannya itu berubah menjadi kesedihan tatkala ibunya berada di dalam kawasan Masjidil Haram tidak bisa melihat Ka’bah karena tidak bisa melihat apa-apa kecuali kegelapan.

Dia tidak putus asa. Dia tiada putus memohon kepada Allah swt agar Dia berkenan mengampuni dosa-dosa ibunya serta membuat ibunya bisa melihat Ka’bah. Namun Allah swt belum berkenan mengabulkan doa-doanya hingga saatnya harus kembali ke tanah air mereka. Dia pun tidak putus asa untuk mengajak ibunya untuk pergi ke Tanah Suci hingga lima kali umrah dan satu kali haji meskipun ternyata ibunya tetap mengalami hal yang sama, ibunya selalu mengalami kebutaan ketika berada di kawasan Masjidil Haram.

Di laman web onislam.com berbahasa Inggris ada seorang yang telah tiga kali melaksanakan haji dan berencana akan melaksanakan haji tahun ini mengajukan pertanyaan apa yang sebaiknya dia lakukan antara memenuhi keinginan diri sendiri dengan melaksanakan haji lagi dan memenuhi kebutuhan umat dengan jalan membantu meringankan beban umat Islam yang dirundung kemalangan.

India-Centric: Kejahilan Melihat Islam dan Sejarah Islam Nusantara

oleh: Abdullah al-Mustofa

BERDASARKAN pandangan “India-Centric” para sejarawan berpendapat, Islam di Nusantara berasal dari India dan para pionir penyebar Islam di Nusantara adalah para pedagang India, demikian ungkap Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam ceramahnya pada acara “Special Lecture Series” yang diselenggarakan CASIS-UTM (Centre for Advanced Studies on Islam, Science and Civilization-University Teknologi Malaysia) di kampus internasional UTM Kuala Lumpur Malaysia beberapa waktu lalu.

Dalam bukunya “Historical Fact and Fiction” al-Attas mengatakan, “Historians have been unjustifiably skeptical and produced all sorts of conjectures without adducing positive proofs; conjectures in which the role of India dan Indians have been unduly magnified. They have been doing this order to fit their theory of the spread of Islam from India and Indians, an Islam already colored by Hindu-Buddist mode of thought and belief concordant with the autochthonous tradition of the Malay peoples, in such a way as to explain that the ground was prepared for the “easy” adaptation of Islam by the peoples of the Archipelago.” (hal. 148)

Para sejarawan berpendapat demikian hanya berdasarkan dugaan yang terlalu dibesar-besarkan tanpa mengemukakan bukti-bukti yang positif. Mereka mencari-cari pembenaran untuk mendukung teori mereka. Mereka melihat Islam “versi” India adalah faktor penyebab mengapa Islam datang lebih awal di Nusantara dan mudah diterima oleh masyarakat Nusantara. Mereka mengatakan, Islam “versi” India yang telah terwarnai ajaran Hindu dan Budha memang sesuai dengan tradisi asli masyarakat Nusantara yang beragama Hindu dan Budha.

Benarkah Nusantara Telah Dikenal di Jaman Nabi?

Hidayatullah.com—Benarkan pulau Sumatra telah dikenal oleh Rasulullah saw semasa hidup, serta telah dilalui dan disinggahi para pedagang dan pelaut Arab di masa itu? Pernyataan ini diungkap Prof. Dr. Muhammad Syed Naquib al-Attas di buku terbarunya “Historical Fact and Fiction”.

Kesimpulan Al-Attas ini berdasarkan inductive methode of reasoning. Metode ini, ungkap al-Attas, bisa digunakan para pengkaji sejarah ketika sumber-sumber sejarah yang tersedia dalam jumlah yang sedikit atau sulit ditemukan, lebih khusus lagi sumber-sumber sejarah Islam dan penyebaran Islam di Nusantara memang kurang.

Metode Feminisme dan Gender “Copy-Paste” Studi Bibel

Hidayatullah.com—Gerakan feminisme dan kesetaraan gender yang merambah ke dalam studi Islam tidak hanya terbatas pada masalah fiqh dan hadith saja, tetapi ia juga masuk dalam studi al-Qur'an.

Kesesatan paham gender, yang sering diusung tokoh liberal dengan menggunakan metode kritik sejarah umumnya  diadopsi dari disiplin ilmu Kritik Bibel (Biblical criticism) yang digunakan dalam tradisi Kristen untuk mengkaji pertanyaan-pertanyaan teks, komposisi dan sejarah seputar Perjanjian Lama dan Baru.